22 Mar 2013

Cari Ikan, Bebas Menggembirakan Tanpa Kekangan

“Jangan, Nia... Azmi jangan dibolehin cari ikan. Nanti kulitnya jadi hitam. Nanti jatuh di lubang atau terbawa arus. Apa tidak bahaya Azmi main di sawah?” serentetan peringatan dari nenek Azmi saya dengar dari HP saya. Saya tersenyum. Sudah saya duga ibu mertua akan protes mendengar cucunya cari ikan.

“Insya Allah aman,Bu. Hanya berupa sungai kecil di sawah. Adanya ikan kecil-kecil. Tidak sampai ada lubang atau arus deras,” jawab saya menenangkan.
“Iya sudah, tetap hati-hati ya, biar Azmi tidak kenapa-kenapa,” pesan nenek Azmi ini.
Saya ceritakan perbincangan tadi dengan suami saya.
“Ibu terlalu khawatir. Lupa dulu bagaimana anaknya ini berpetualang,” komentar suami saya kalem.
“Apalagi Azmi anak cowok, perlu merasakan pengalaman yang berbeda. Beruntung di sebelah masih ada persawahan, jadi masih bisa dieksplor nuansa alaminya,” tambah saya.
“Biar makin terlatih kemampuan motoriknya,” suami saya tersenyum geli.
Azmi yang masih empat tahun itu terlihat sumringah membawa jaring ikan. Ditemani Aryo yang tujuh tahun berangkat ke sawah di samping rumah saya. Mereka berbekal dua jaring dan satu timba kecil.
“Mas Aryo nanti lihat Dek Azmi ya, jangan boleh lari-lari cari ikannya, ” pesan saya.
“Iya, Bunda,” jawab Aryo anak tetangga. Aryo juga memanggil saya Bunda.
“Mas Azmi, hati-hati ya, cari ikannya,” pesan saya pada Azmi. Azmi mengangguk dan langsung berlari keluar rumah. Dari jendela rumah saya lihat mereka telah sampai di sungai kecil yang mengalir ke sawah. Azmi mengikuti Aryo. Saya berlari menyusul ingin melihat langsung.
Saya teringat masa kecil saya dulu, saya tinggal di desa dengan hamparan sawah di sekeliling rumah. Saat musim hujan, air meluber ke pematang-pematang sawah. Saya dan teman-teman janjian sepulang sekolah mencari belut dan keong. Petualangan dimulai. Sepanjang jalan menuju sawah kami mampir di pohon jambu, mangga atau juwet. Walaupun kemi segerombolan anak perempuan, kami tidak ragu-ragu memanjat pohon mengambil buah. Timba-timba yang kami bawa dari rumah sebagian telah terisi buah-buahan tersebut. Kami tidak mencuri. Karena pohon-pohon tersebut milik kakek atau orang tua salah satu dari kami.
 Saat mencari belut atau keong di sawah milik orang tua saya, baju saya dan teman-teman basah dan berlumpur. Keong sudah kami dapatkan sebanyak satu timba. Hanya belutnya belum satupun kami dapatkan. Pulanglah kami ke rumah saya. Bersama ibu saya, kami memasak keongnya menjadi tumis keong. Kenangan ini begitu lekat di memori otak saya. Memori yang membuat saya merasa hidup ini adalah "milikku", saya bebas melakukan apapun. Apa yang saya lakukan membuat saya senang, teman-teman ceria dan orang tua tersenyum. Inilah rasanya telah menjadi pondasi yang kuat untuk kehidupan saya selanjutnya. Kepercayaan diri mengambil keputusan dan menikmati sumber daya yang saya miliki. Mempengaruhi orang lain dan berusaha menjadi pusat perhatian agar bisa merubah dan berbagi. Seperti cerita-cerita di balik noda lainnya yang begitu jelas memberikan inspirasi bagi para orang tua agar berani memberikan kebebasan bertanggung jawab bagi para buah hatinya.
Pada Azmi, saya terapkan hal yang sama. Di masa “golden period” sekarang biarlah dia mendapatkan haknya membangun pondasi terkuat dalam hidupnya. Kebebasan memiliki dunianya, karena kelak dia akan hidup di zaman yang berbeda dari zaman yang saya hadapi sekarang ini. Sebagai orang tua saya bertugas memberikan kesempatan terindah tanpa kekangan.
Bukankah dulu Nabi Muhammad SAW semasa kecil sudah memiliki aktivitas bebas menggembirakan, yaitu menggembalakan kambing di padang rumput di usia tujuh tahun. Beliau bebas menikmati kehidupannya di alam luas. Masa kecil adalah masa terbentuknya pondasi terkuat untuk menghadapi kehidupannya kelak. Pondasi itu harus dibangun dalam suasana bebas menggembirakan tanpa kekangan.
Sepulang cari ikan, badan Azmi kotor, bajunya belepotan lumpur,  baunya tidak sedap dan nafasnya tersengal-sengal. Waktunya mandi lalu ganti baju. Makan lalu minum susu. Subhanallah... rangkaian aktivitas yang sangat membahagiakan.
Ikan yang diperoleh dimasukkan dalam kolam di belakang rumah. Pembelajaran berikutnya adalah perhatian dan kepedulian. Perhatian terhadap kehidupan ikan-ikannya dan peduli dengan kebersihan air kolamnya dengan teratur memberi makan ikan dan menguras air kolam. Hal ini terasa mudah karena adanya kolam di belakang rumah adalah permintaan Azmi sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar