28 Feb 2013

Dental Clinic di Thailand Semarak



Perjalanan empat jam dari Juanda Airport ke Don Mueang Airport Bangkok berjalan lancar. Sampailah saya di tanah gajah putih. Kondisi alam dan fasilitas mirip Jakarta. Di titik-titik tertentu macet. Jalan tol besar nan gagah. Bedanya meski macet tidak ada kebisingan klakson. Saat saya menyeberang,  taksi berhenti dan menyilakan saya menyeberang. Di sudut-sudut gedung, mall, hotel dan  rumah berdiri tempat peribadatan Budha berupa kuil dan patung dengan bunga-bunga didominasi warna keemasan. Beberapa orang Thailand berdiri berdoa, membungkuk membawa kayu panjang dibakar. Mereka beribadah. Orang Thailand 94 % beragama Budha, 3% Islam, 3% campuran Kristen, Hindu dan lainnya. Selama empat hari tour saya menemui hanya satu masjid dan dua room prayer (ruangan solat di mall). Gereja dan Pura tidak saya temui.
Perjalanan tour dimulai dengan mengarungi Sungai Chao Praya dan Kuil Wat Arun. Lokasinya di tengah-tengah Bangkok. Meski di tengah ibu kota, kondisi airnya natural tidak kumuh. Sempat melintas perahu mengangkut eceng gondok beserta beberapa awak perahu. Mereka bisa dibilang petugas bersih-bersih sungai. “Seharusnyadi Indonesia ada petugas bersih-bersihnya seperti ini,” komentar saya dalam hati.
Selanjutnya ke Pantai Pattaya, keindahan pantainya mengingatkan saya dengan Pantai Kuta Bali. Turis berlalu lalang. Ada kafe, toko baju, dan rumah makan di sepanjang tepi pantai. Bedanya banci-banci cantik bertebaran di sini. They are beautiful like barbie and very slim. Banci Thailand bukan main cantiknya. Sampai-sampai kami para wanita dari rombongan tour tidak mau berfoto dengan mereka karena merasa kalah cantik. Info dari guide kami Khun Chiap Chiap (Mbak Chiap) biaya operasi dari laki-laki menjadi (baca : menyerupai) perempuan dilakukan di rumah  sakit Bangkok dengan biaya 200.000 baht (70 jt rupiah) dan 100.000 baht untuk operasi wanita menjadi lebih cantik. Dengan bahasa Indonesia yang fasih, Khun Chiap yang asli orang Thailand bilang,“Dari 100 laki-laki Thailand, 50 jadi banci, 40 jadi biksu, hanya 10 yang menikah.” Kami terperangah. “Kasihan wanita Thailand,” sahut ibu-ibu rombongan.
Dental Clinic di Jalan kota Pattaya
Estetika rupanya penting bagi kaum muda Thailand. Banyak produk sabun, lulur, make up dari Thailand. Bagaimana dengan gigi? Saya belum tahu pasti trend perawatan gigi di sana. Yang saya perhatikan di sepanjang jalan kota Pattaya berdiri dental clinin di ruko-ruko berdampingan dengan rumah makan, salon, butik, toko swalayan dan toko lainnya. Yang menarik, penampilan papan reklamenya besar, lugas, warna mencolok, gambar semarak dan vulgar menampilakan nomor telepon dan  jenis perawatan (Implant dan Orthodontic).  Menurut saya gaya dental clinic yang eye catching mempunyai nilai lebih bisa menarik hati para bule-bule. Luarnya menarik, apalagi dalamnya, mungkin pemikiran para bule. Turis jadi tahu ada dental clinic
Saya jadi iri. Artinya, dokter gigi di sana bisa berkreativitas dan beriklan bebas. Bandingkan dengan Indonesia. Mana ada turis tahu ada tempat praktik dentist, lha papan namanya berbahasa Indonesia, polos hitam putih tanpa gambar. Malah tukang gigi di Indonesia lebih bisa berekspresi. Bisa jadi turis mengira plang tukang gigi itu milik dokter giginya Indonesia. Waduh, malu banget.
Dental Clinic Di Bangkok menampilkan pelayanan Orthodontic, Implant dan nomor telepon
Promo lewat internet juga semarak. Silakan searching dental clinic at Bangkok, langsung keluar banyak nama-nama dental clinic lengkap dengan jenis terapi, rincian harga dan diskon, bahkan tidak sungkan menampilkan fasilitas peralatan. Misalnya Silom Dental Building, DentalBangkok.com, Bangkok International Dental Center menawarkan healthy vacation untuk turis. Inilah bentuk pelayanan medis di Thailand sebagai salah satu negara travel medicine (wisata kesehatan). Info dari guide kami Khun Chiap Chiap biaya cabut gigi 400 bath, tambal gigi 600 baht, pakai braces 30.000 baht. Kini satu baht 340 rupiah. Hebat juga Thailand, negara berkembang yang mampu menjadi negara travel medicine.
Tuk tuk, taxi tradisional Bangkok
Selama di sana, saya memakai transportasi bus. Bus pariwisata disana panjang, besar dan tinggi.  Transportasi tradisional disana bernama tuk tuk. Uniknya, di atasnya tertulis taxi. Modelnya terbuka tanpa kaca. Penumpang bisa menikmati angin langsung. Kecepatannya tidak jauh beda dengan bajaj di Jakarta. Di tengah kota terdapat monorel. Kereta api berjalan di rel yang dibangun tinggi di atas jalan raya. “Untuk pindah antar mall bisa naik monorel” kata Khun Chiap. Kapan ya Jakarta punya monorel?
Room Prayer di Mall Jatujak
Untuk solat, perlu trik khusus. Saya selalu membawa gelas tupperware (bukan untuk minum) untuk mengambil air dari wastafel saat buang air kecil dan wudhu. Ternyata kebanyakan toilet di Thailand tanpa kran. Saya langsung kabur dari toilet karena menghindari penjaga toilet yang mungkin mengamuk melihat lantai toilet saya “banjir.”  Bertanya arah barat pakai bahasa Inggris tidak semua orang Thailand paham. Pada resepsionis hotel saya gambarkan arah mata angin, north, south, west? Tiga resepsionis berdiskusi mencermati gambar saya. Ampuuunnn... sampai perlu tiga orang untuk menjawabnya. Kalau kepepet di jalan tidak menemukan tempat solat, saya solat dalam  bus.
Saya sempat berkenalan dengan Rohimah dan Zakiiya dari Pattani (Thailand Selatan), “I am dentist.”
Rohimah spontan menyahut, “Hmmm, rich, rich,”
What are you doing here (Mall MBK di Bangkok)?” Tanya saya.
“Dari Platinum (Nama Mall juga),” jawab Zakiiyah
Permukaan gunung diukir
 lukisan Budha dengan emas batang
Saya kaget, dia bisa bahasa Indonesia. Ternyata di universitas dia belajar bahasa Melayu. Jangan heran, penjual-penjual di Bangkok bisa bahasa Indonesia sedikit-sedikit, cukup membuat transaksi jal beli berjalan lancar. Khun Chiap Chiap pandai berbahasa Indonesia, tapi tidak bisa berbahasa Inggris. Demikian juga Rohimah dan Zakiiya lebih ngerti diajak ngomong dengan bahasa Melayu daripada bahasa Inggris. Kata Khun Chiap, karena Thailand tidak pernah dijajah. Orang Thaiand belajar bahasa Inggris di sekolah sekedar writing, tidak speaking. Thailand people feel shy speak in English.
Mall di Bangkok banjir dikunjungi turis
 Godaan shopping sangat besar. Hand made karya mereka banyak, bagus dan harganya terjangkau. Inilah daya tarik memikat orang Indonesia melancong ke sini. Di mall, toko souvenir dan hotel, saya selalu ketemu rombongan dari Indonesia baik Surabaya, Jakarta, Samarinda, Sulawesi Utara dan  Jawa Tengah. Prinsip belanja beli yang dibutuhkan saja nampaknya tidak berlaku. “Mumpung di Thailand, kapan lagi bisa beli di sini. Ini murah lho, dibanding di Indonesia, ” kalimat ini saya dengar dari beberapa orang. Tradisi memberi oleh-oleh untuk keluarga, saudara dan teman-teman alasan utama belanja. Oleh-oleh untuk diri sendiri sampai-sampai lupa.
Saya dengan Khun Chiap, a funny guide
Sebelum berpisah, Khun Chiap menyanyikan lagu Cucak Rowo dengan  khas cedal. Memang orang Thailand menghilangkan konsonan R menggantinya dengan L. Katanya, “Rombongan Bapak Ibu bagai anak-anak baik-baik.” Maklum, ada kalanya saat tour timbul pertengkaran antar anggota rombongan karena tidak bisa menyatukan keinginan tujuan perjalanan. Nah, rombongan kami very dinamis, enjoy and happy.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar