Perjalanan empat
jam dari Juanda Airport ke Don Mueang Airport Bangkok berjalan lancar.
Sampailah saya di tanah gajah putih. Kondisi alam dan fasilitas mirip Jakarta.
Di titik-titik tertentu macet. Jalan tol besar nan gagah. Bedanya meski macet
tidak ada kebisingan klakson. Saat saya menyeberang, taksi berhenti dan menyilakan saya menyeberang.
Di sudut-sudut gedung, mall, hotel dan
rumah berdiri tempat peribadatan Budha berupa kuil dan patung dengan
bunga-bunga didominasi warna keemasan. Beberapa orang Thailand berdiri berdoa,
membungkuk membawa kayu panjang dibakar. Mereka beribadah. Orang Thailand 94 %
beragama Budha, 3% Islam, 3% campuran Kristen, Hindu dan lainnya. Selama empat
hari tour saya menemui hanya satu masjid dan dua room prayer (ruangan solat di mall). Gereja dan Pura tidak saya
temui.
Perjalanan tour
dimulai dengan mengarungi Sungai Chao Praya dan Kuil Wat Arun. Lokasinya di
tengah-tengah Bangkok. Meski di tengah ibu kota, kondisi airnya natural tidak
kumuh. Sempat melintas perahu mengangkut eceng gondok beserta beberapa awak
perahu. Mereka bisa dibilang petugas bersih-bersih sungai. “Seharusnyadi
Indonesia ada petugas bersih-bersihnya seperti ini,” komentar saya dalam hati.
Selanjutnya ke
Pantai Pattaya, keindahan pantainya mengingatkan saya dengan Pantai Kuta Bali.
Turis berlalu lalang. Ada kafe, toko baju, dan rumah makan di sepanjang tepi
pantai. Bedanya banci-banci cantik bertebaran di sini. They are beautiful like barbie and very slim. Banci Thailand bukan
main cantiknya. Sampai-sampai kami para wanita dari rombongan tour tidak mau
berfoto dengan mereka karena merasa kalah cantik. Info dari guide kami Khun
Chiap Chiap (Mbak Chiap) biaya operasi dari laki-laki menjadi (baca : menyerupai)
perempuan dilakukan di rumah sakit Bangkok dengan biaya 200.000 baht (70 jt
rupiah) dan 100.000 baht untuk operasi wanita menjadi lebih cantik. Dengan
bahasa Indonesia yang fasih, Khun Chiap yang asli orang Thailand bilang,“Dari
100 laki-laki Thailand, 50 jadi banci, 40 jadi biksu, hanya 10 yang menikah.”
Kami terperangah. “Kasihan wanita Thailand,” sahut ibu-ibu rombongan.
Dental Clinic di Jalan kota Pattaya
|
Estetika rupanya
penting bagi kaum muda Thailand. Banyak produk sabun, lulur, make up dari
Thailand. Bagaimana dengan gigi? Saya belum tahu pasti trend perawatan gigi di
sana. Yang saya perhatikan di sepanjang jalan kota Pattaya berdiri dental
clinin di ruko-ruko berdampingan dengan rumah makan, salon, butik, toko
swalayan dan toko lainnya. Yang menarik, penampilan papan reklamenya besar,
lugas, warna mencolok, gambar semarak dan vulgar menampilakan nomor telepon
dan jenis perawatan (Implant dan
Orthodontic). Menurut saya gaya dental
clinic yang eye catching mempunyai
nilai lebih bisa menarik hati para bule-bule. Luarnya menarik, apalagi
dalamnya, mungkin pemikiran para bule. Turis jadi tahu ada dental clinic
Saya jadi iri.
Artinya, dokter gigi di sana bisa berkreativitas dan beriklan bebas. Bandingkan
dengan Indonesia. Mana ada turis tahu ada tempat praktik dentist, lha papan namanya berbahasa Indonesia,
polos hitam putih tanpa gambar. Malah tukang gigi di Indonesia lebih bisa
berekspresi. Bisa jadi turis mengira plang tukang gigi itu milik dokter giginya
Indonesia. Waduh, malu banget.
Dental Clinic Di Bangkok menampilkan pelayanan
Orthodontic, Implant dan nomor telepon
|
Promo lewat
internet juga semarak. Silakan searching dental
clinic at Bangkok, langsung keluar banyak nama-nama dental clinic lengkap
dengan jenis terapi, rincian harga dan diskon, bahkan tidak sungkan menampilkan
fasilitas peralatan. Misalnya Silom
Dental Building, DentalBangkok.com, Bangkok International Dental Center
menawarkan healthy vacation untuk
turis. Inilah bentuk pelayanan medis di Thailand sebagai salah satu negara travel medicine (wisata kesehatan). Info dari guide kami Khun Chiap Chiap
biaya cabut gigi 400 bath, tambal gigi 600 baht, pakai braces 30.000 baht. Kini
satu baht 340 rupiah. Hebat juga Thailand, negara berkembang yang mampu menjadi
negara travel medicine.
Tuk tuk, taxi tradisional Bangkok
|
Selama di sana,
saya memakai transportasi bus. Bus pariwisata disana panjang, besar dan tinggi.
Transportasi tradisional disana bernama
tuk tuk. Uniknya, di atasnya tertulis taxi. Modelnya terbuka tanpa kaca.
Penumpang bisa menikmati angin langsung. Kecepatannya tidak jauh beda dengan
bajaj di Jakarta. Di tengah kota terdapat monorel. Kereta api berjalan di rel yang
dibangun tinggi di atas jalan raya. “Untuk pindah antar mall bisa naik monorel”
kata Khun Chiap. Kapan ya Jakarta
punya monorel?
Room Prayer di Mall Jatujak
|
Untuk solat,
perlu trik khusus. Saya selalu membawa gelas tupperware (bukan untuk minum) untuk
mengambil air dari wastafel saat buang air kecil dan wudhu. Ternyata kebanyakan
toilet di Thailand tanpa kran. Saya langsung kabur dari toilet karena
menghindari penjaga toilet yang mungkin mengamuk melihat lantai toilet saya
“banjir.” Bertanya arah barat pakai
bahasa Inggris tidak semua orang Thailand paham. Pada resepsionis hotel saya
gambarkan arah mata angin, north, south,
west? Tiga resepsionis berdiskusi mencermati gambar saya. Ampuuunnn...
sampai perlu tiga orang untuk menjawabnya. Kalau kepepet di jalan tidak
menemukan tempat solat, saya solat dalam
bus.
Saya sempat berkenalan dengan
Rohimah dan Zakiiya dari Pattani (Thailand Selatan), “I am dentist.”
Rohimah spontan menyahut, “Hmmm, rich, rich,”
“What are you doing here (Mall MBK di Bangkok)?” Tanya saya.
“Dari Platinum (Nama Mall juga),”
jawab Zakiiyah
Permukaan gunung diukir
lukisan Budha
dengan emas batang
|
Saya kaget, dia
bisa bahasa Indonesia. Ternyata di universitas dia belajar bahasa Melayu.
Jangan heran, penjual-penjual di Bangkok bisa bahasa Indonesia sedikit-sedikit,
cukup membuat transaksi jal beli berjalan lancar. Khun Chiap Chiap pandai
berbahasa Indonesia, tapi tidak bisa berbahasa Inggris. Demikian juga Rohimah
dan Zakiiya lebih ngerti diajak ngomong dengan bahasa Melayu daripada bahasa
Inggris. Kata Khun Chiap, karena Thailand tidak pernah dijajah. Orang Thaiand
belajar bahasa Inggris di sekolah sekedar writing,
tidak speaking. Thailand people feel shy speak in English.
Mall di Bangkok banjir dikunjungi turis
|
Godaan shopping sangat besar. Hand made karya mereka banyak, bagus dan
harganya terjangkau. Inilah daya tarik memikat orang Indonesia melancong ke
sini. Di mall, toko souvenir dan hotel, saya selalu ketemu rombongan dari
Indonesia baik Surabaya, Jakarta, Samarinda, Sulawesi Utara dan Jawa Tengah. Prinsip belanja beli yang
dibutuhkan saja nampaknya tidak berlaku. “Mumpung di Thailand, kapan lagi bisa
beli di sini. Ini murah lho,
dibanding di Indonesia, ” kalimat ini saya dengar dari beberapa orang. Tradisi
memberi oleh-oleh untuk keluarga, saudara dan teman-teman alasan utama belanja.
Oleh-oleh untuk diri sendiri sampai-sampai lupa.
Saya dengan Khun Chiap, a funny guide
|
Sebelum berpisah,
Khun Chiap menyanyikan lagu Cucak Rowo dengan
khas cedal. Memang orang Thailand menghilangkan konsonan R menggantinya
dengan L. Katanya, “Rombongan Bapak Ibu bagai anak-anak baik-baik.” Maklum, ada
kalanya saat tour timbul pertengkaran antar anggota rombongan karena tidak bisa
menyatukan keinginan tujuan perjalanan. Nah, rombongan kami very dinamis, enjoy
and happy.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar